Al Imam Al Habib Abdullah bin Alawi Al Haddad RA  
Dikirim: Tim Redaksi [16/06/2009]
Al Habib Al Imam  Abdullah bin Alawi Al Haddad dilahirkan  pada malam Kamis
5 Shafar  1044 H di pinggiran kota Tarim, sebuah kota terkenal di
Hadhramaut,  Yaman. Beliau bermadzhab Syafi‘i. Nasabnya bersambung
sampai kepada  Sayidina Ali bin Abi Thalib RA, suami Sayyidatuna Fatimah binti
Rasulillah SAW.  
Ayahnya, Al Habib Alawi bin Muhammad
adalah seorang yang saleh dari keturunan orang-orang saleh. Di masa
mudanya, beliau berkunjung ke kediaman Habib Ahmad bin Muhammad
Al-Habsyi Shôhibusy Syi‘ib untuk memohon doa, Habib Ahmad berkata,
“Anak-anakmu adalah anak-anak kami juga, mereka diberkahi Allah.”  
Saat
itu Habib Alwi tidak mengerti maksud ucapan Habib Ahmad.  Namun, setelah
menikahi Salma, cucu dari Habib Ahmad bin Muhammad,  Habib Alwi baru
sadar bahwa rupanya perkawinan ini yang diisyaratkan  oleh Habib Ahmad
bin Muhammad dalam ucapannya.  
Sebagaimana
suaminya, Salma adalah seorang wanita yang sholihah.  Dari istrinya ini,
Habib Alwi mendapat putra-putri yang baik dan  saleh, di antaranya
adalah Abdullah.  
Ketika Habib  Abdullah berusia 4
tahun, ia terserang penyakit cacar. Demikian  hebat penyakit itu hingga
butalah kedua matanya. Namun, musibah ini  sama sekali tidak mengurangi
kegigihannya dalam menuntut ilmu. Ia  berhasil menghapal Quran dan
menguasai berbagai ilmu agama ketika  terhitung masih kanak-kanak.
Rupanya Allah berkenan menggantikan  penglihatan lahirnya dengan
penglihatan batin, sehingga kemampuan  menghapal dan daya pemahamannya
sangat mengagumkan. 
Beliau  sejak kecil gemar
beribadah dan riyâdhoh. Nenek dan kedua orang  tuanya seringkali tidak
tega menyaksikan anaknya yang buta ini  melakukan berbagai ibadah dan
riyâdhoh. Mereka menasihati agar ia  berhenti menyiksa diri. Demi
menjaga perasaan keluarganya, si kecil  Abdullah pun mengurangi ibadah
dan riyâdhoh yang sesungguhnya amat  ia gemari. Ia pun kini memiliki
lebih banyak waktu untuk  bermain-main dengan teman-teman sebayanya.
“Subhânallôh, sungguh  indah masa kanak-kanak...,” kenang beliau suatu
hari.
Di  kota Tarim, beliau tumbuh dewasa.
Bekas-bekas cacar tidak tampak  lagi di wajahnya. Beliau berperawakan
tinggi, berdada bidang,  berkulit putih, dan berwibawa. Tutur bahasanya
menarik, sarat dengan  mutiara ilmu dan nasihat berharga.  
Beliau
sangat gemar  menuntut ilmu. Kegemarannya ini membuatnya sering
melakukan  perjalanan untuk menemui kaum ulama. Beliau ra berkata, “Apa
kalian  kira aku mencapai ini dengan santai? Tidak tahukah kalian bahwa
aku  berkeliling ke seluruh kota-kota (di Hadramaut) untuk menjumpai
kaum  sholihin, menuntut ilmu dan mengambil berkah dari mereka?”  
Beliau
juga sangat giat dalam mengajarkan ilmu dan mendidik  murid-muridnya.
Banyak penuntut ilmu datang untuk belajar kepadanya.  Suatu hari beliau
berkata, “Dahulu aku menuntut ilmu dari semua  orang, kini semua orang
menuntut ilmu dariku.”  
“Andaikan  penghuni zaman
ini mau belajar dariku, tentu akan kutulis banyak  buku mengenai makna
ayat-ayat Quran. Namun, di hatiku ada beberapa  ilmu yang tak kutemukan
orang yang mau menimbanya.”  
Habib  Abdullah
mengamati bahwa kemajuan zaman justru membuat orang-orang  saleh
menyembunyikan diri; membuat mereka lebih senang menyibukkan  diri
dengan Allah. “Zaman dahulu keadaannya baik. “Dagangan” kaum  sholihin
dibutuhkan masyarakat, oleh karena itu mereka menampakkan  diri. Zaman
ini telah rusak, masyarakat tidak membutuhkan “dagangan”  mereka, karena
itu mereka pun enggan menampakkan diri,” papar  beliau.  
Beliau
sangat menyayangi kaum fakir miskin.  “Andaikan aku kuasa dan mampu,
tentu akan kupenuhi kebutuhan semua  kaum fakir miskin. Sebab pada
awalnya, agama ini ditegakkan oleh  orang-orang mukmin yang lemah.”  
Beliau juga berkata, “Dengan  sesuap (makanan) tertolaklah berbagai bencana.”  
Beliau
gemar berdakwah, baik dengan lisan maupun tulisan, kemudian
mencontohkannya dalam amal perbuatan. Kegemarannya berdakwah
menyebabkan ia banyak bergaul dan melakukan perjalanan. “Sesungguhnya
aku tidak ingin bercakap-cakap dengan masyarakat, aku juga tidak
menyukai pembicaraan mereka, dan tidak peduli kepada siapa pun dari
mereka. Sudah menjadi tabiat dan watakku bahwa aku tidak menyukai
kemegahan dan kemasyhuran. Aku lebih suka berkelana di gurun Sahara.
Itulah keinginanku; itulah yang kudambakan. Namun, aku menahan diri
tidak melaksanakan keinginanku agar masyarakat dapat mengambil manfaat
dariku.”  
Keaktifannya dalam mendidik dan
berdakwah  membuatnya digelari Quthbud Da’wah wal Irsyâd. Beliau
berkata,  “Ajaklah orang awam kepada syariat dengan bahasa syariat;
ajaklah  ahli syariat kepada tarekat (thorîqoh) dengan bahasa tarekat;
ajaklah ahli tarekat kepada hakikat (haqîqoh) dengan bahasa hakikat;
ajaklah ahli hakikat kepada Al-Haq dengan bahasa Al-Haq, dan ajaklah
ahlul haq kepada Al-Haq dengan bahasa Al-Haq.”  
Dalam
kehidupannya, beliau juga sering mendapat gangguan dari masyarakat
lingkungannya. “Kebanyakan orang jika tertimpa musibah penyakit atau
lainnya, mereka tabah dan sabar; sadar bahwa itu adalah qodho dan qodar
Allah. Tetapi jika diganggu orang, mereka sangat marah. Mereka lupa,
bahwa gangguan-ganguan itu sebenarnya juga merupakan qodho dan qodar
Allah, mereka lupa bahwa sesungguhnya Allah hendak menguji dan
menyucikan jiwa mereka. Nabi saw bersabda, “Besarnya pahala tergantung
pada beratnya ujian. Jika Allah mencintai suatu kaum, Ia akan menguji
mereka. Barang siapa ridho, ia akan memperoleh keridhoan-Nya; barang
siapa tidak ridho, Allah akan murka kepadanya.”  
Habib
Abdullah mengetahui bahwa ada beberapa orang yang memakan hidangannya,
tetapi juga memakinya. “Perbuatan mereka tidak mempengaruhi sikapku.
Aku tidak marah kepada mereka, bahkan mereka kudoakan.”  
Habib
Abdullah tidak pernah menyakiti hati orang lain, apabila  beliau
terpaksa harus bersikap tegas, beliau kemudian segera  menghibur dan
memberikan hadiah kepada orang yang ditegurnya. “Aku  tak pernah
melewatkan pagi dan sore dalam keadaan benci atau iri  pada seseorang,”
kata Habib Abdullah.  
Beliau lebih suka
berpegang pada hadis Nabi saw: “Orang beriman yang bergaul dengan
masyarakat dan sabar menanggung gangguannya, lebih baik daripada orang
yang tidak bergaul dengan masyarakat dan tidak pula sabar menghadapi
gangguannya.”  
Beliau menulis dalam syairnya:  
Bila Allah mengujimu, bersabarlah
karena itu hak-Nya atas  dirimu.
Dan bila Ia memberimu nikmat, bersyukurlah.  
Siapa pun mengenal dunia, pasti akan yakin
bahwa dunia  tak syak lagi 
adalah tempat kesengsaraan dan kesulitan. 
Habib
Abdullah tidak menyukai kemasyhuran atau kemegahan,  beliau juga tidak
suka dipuji. “Banyak orang membuat syair-syair  untuk memujiku.
Sesungguhnya aku hendak mencegah mereka, tetapi aku  khawatir tidak
ikhlas dalam berbuat demikian. Jadi, kubiarkan mereka  berbuat
sekehendaknya. Dalam hal ini aku lebih suka meneladani Nabi  saw, karena
beliau pun tidak melarang ketika sahabatnya membacakan  syair-syair
pujian kepadanya.”  
Suatu hari beliau berkata
kepada orang yang melantunkan qoshidah pujian untuk beliau, “Aku tidak
keberatan dengan semua pujian ini. Yang ada padaku telah kucurahkan ke
dalam samudra Muhammad saw. Sebab, beliau adalah sumber semua
keutamaan, dan beliaulah yang berhak menerima semua pujian. Jadi, jika
sepeninggal beliau ada manusia yang layak dipuji, maka sesungguhnya
pujian itu kembali kepadanya. Adapun setan, ia adalah sumber segala
keburukan dan kehinaan. Karena itu setiap kecaman dan celaan terhadap
keburukan akan terpulang kepadanya, sebab setanlah penyebab pertama
terjadinya keburukan dan kehinaan.”
Beliau tak
pernah  bergantung pada makhluk dan selalu mencukupkan diri hanya dengan
Allah. “Dalam segala hal aku selalu mencukupkan diri dengan kemurahan
dan karunia Allah. Aku selalu menerima nafkah dari khazanah
kedermawanan-Nya.” Beliau juga berkata, “Aku tidak melihat ada yang
benar-benar memberi, selain Allah. Jika ada seseorang memberiku
sesuatu, kebaikannya itu tidak meninggikan kedudukannya di sisiku,
karena aku menganggap orang itu hanyalah perantara saja.” 
Karya dan Kata Mutiara 
Meski buta dan sangat sibuk  berdakwah, beliau masih sempat menulis buku-buku berikut: 
01.    An-Nashôihud Dîniyyah
02.   Ad-Da’watut Tâmmah
03.    Risâlatul Mu’âwanah
04.   Al-Fushûlul ‘Ilmiyyah
05.    Sabîlul Iddikâr
06.   Risâlatul Mudzâkarah
07.    Risâlatul Murîd
08.   Kitâbul Hikam
09.   An-Nafâisul  Uluwiyyah
10. Ithâfus Sâil 
Karya-karya
beliau sarat dengan inti sari ilmu syariat, adab Islami dan tarekat,
penjabaran ilmu hakikat, menggunakan ibarat yang jelas dan tata bahasa
yang memikat. Semuanya ditulis dengan bahasa yang mudah dipahami.
Berisi ajaran tasawuf murni. “Aku mencoba menyusunnya dengan ungkapan
yang mudah, supaya dekat dengan pemahaman masyarakat, lalu kugunakan
kata-kata yang ringan, supaya segera dapat dipahami dan mudah
dimengerti oleh kaum khusus maupun awam.” 
Beliau
selalu  bersungguh-sungguh dalam beribadah. Senantiasa menyertakan amal
di  samping ilmunya. Pada masa bidâyah-nya (permulaannya ) setiap malam
beliau mengunjungi seluruh mesjid di kota Tarim untuk beribadah. Salah
seorang yang tinggal berdampingan dengan mesjid tempat beliau ra biasa
salat mengatakan, “Setiap malam, ketika penduduk kota ini telah lelap
dalam tidurnya, aku selalu mendapati beliau berjalan ke mesjid.” 
Sahabat
beliau menceritakan, “Suatu hari aku berziarah bersama  beliau ke makam
Nabiyullôh Hud as. Malam itu seekor kalajengking  menyengatku sehingga
aku terjaga semalaman. Aku amati malam itu  beliau tidak tidur, asyik
beribadah sepanjang malam. Waktu  kutanyakan hal itu, beliau menjawab
bahwa telah tiga puluh tahun  lamanya beliau berbuat demikian. 
Meskipun
Habib Abdullah  amat gemar beribadah, beliau tidak suka menceritakan
atau  memperlihatkan amalnya, kecuali bila keadaan sangat memaksa dan ia
ingin agar amal salehnya itu diteladani. Beliau berkata, “Aku sengaja
tidak memperlihatkan amal ibadahku, meskipun — alhamdulillâh — aku
tidak khawatir terkena riya`. Akan tetapi, sebagaimana dikatakan oleh
Ash-Shiddîq (Nabi Yusuf as): “Aku tidak membebaskan diriku (dari
kesalahan), karena nafsu itu selalu mengajak berbuat kejahatan...” 
Seseorang
pernah menggambarkan kedudukan beliau dalam dunia tasawuf  dengan
ungkapan yang indah, yaitu: Dalam dunia tasawuf Imam  Al-Ghazali ibarat
pemintal kain, Imam Sya’rani ibarat tukang potong  dan Sayid Abdullah
bin Alwi Al-Haddad adalah penjahitnya.” 
Penganut
Madzhab Syafi‘i, khususnya di Yaman, berkeyakinan bahwa  Habib Abdullah
Al-Haddad adalah mujaddid (pembaharu) abad 11 H,  pendapat ini
difatwakan oleh Ibnu Ziyad, seorang ahli fiqih  terkemuka di Yaman yang
fatwa-fatwanya disejajarkan dengan  tokoh-tokoh fiqih seperti Imam Ibnu
Hajar dan Imam Ramli. 
Beliau ra merumuskan
bacaan dzikir yang dinamainya wirid Al-Lathîf.  Wirid ini telah tersebar
hampir ke seluruh penjuru Dunia: Mekah,  Madinah, Hijaz, Afrika,
Indonesia, Malaysia, Eropa, Amerika dll. Di  Indonesia, wirid ini nyaris
menjadi bacaan yang diwajibkan oleh  guru-guru pesantren. Tidak sedikit
dari mereka yang enggan beranjak  dari tempat duduknya setelah salat
Subuh, sebelum menyelesaikan  wirid ini. Wirid ini hampir menjadi bacaan
resmi umat Islam di pagi  hari. Wiridnya yang lain, yang juga tak kalah
masyhurnya, adalah  Ratib Haddad. 
Demikianlah
Habib Abdullah Al-Haddad  menghabiskan umurnya. Beliau menuntut ilmu dan
mengajarkan;  berdakwah dan mencontohkan. Sampai akhirnya pada Selasa
sore, 7  Dzulqaidah 1132 H di kota Tarim ini juga, beliau ra kembali
menghadap Yang Kuasa, meninggalkan banyak murid, karya dan nama harum
di dunia. Di kota itu pula, di pemakaman Zanbal, beliau ra dimakamkan.
Semoga Allah memberinya kedudukan yang mulia di sisi-Nya dan memberi
kita manfaat yang banyak dari ilmu-ilmunya.
No comments:
Post a Comment